Kemarau
Cerpen Andrea HirataBarangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.
“Mau kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu bila dibariskan akan membentuk segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya.
“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.
Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian kudengar suara gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak tertanggungkan.
Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata
Analisis Cerpen “Kemarau” Karya Andrea Hirata
PENDAHULUAN
1. Ulasan Cerita
Bujang, seorang pemuda kampung yang merasa bosan akan keadaan daerah tempat ia tinggal. Ia bermaksud menuju sungai tempat merapatnya sebuah kapal keruk yang penuh dengan kenangan dari ayahnya. Di tengah perjalanan ia terus melamuni nasib Indonesia, mulai dari kampungnya yang minim akan fasilitas hingga aksi calon pemimpin Negara yang sedang mengkampanyekan diri dengan sejuta bualan yang tak pernah di tepati.
2. Tujuan Menganalisis Cerpen “Kemarau” Karya Andrea Hirata
Penulis (dalam hal ini saya), mencoba melihat secara dalam maksud utama dari ditulisnya cerpen ini, sehingga tujuan dalam menganalisis cerpen “Kemarau” karya Andrea Hirata ini adalah untuk merefleksikan cerita secara mendalam melalui kacamata politik.
3. Latar Belakang Cerpen
Cerpen Kemarau karya Andrea Hirata, yang dimuat dalam surat kabar Kompas 25 juli 2010 merupakan sebuah cerpen yang diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan yang dirilis pada bulan juni 2010. Cerpen ini akan lebih dipahami jika pembaca telah mengikuti novel-novel Andrea Hirata yang kebanyakan mengambil setting di daerah Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
4. Ragam Intrinstik Cerpen
Tokoh utama dalam cerpen Kemarau ini adalah si penulis sendiri, Andrea Hirata. Melalui setting tempat di daerah Belitong, penulis mengisahkan konflik yang sederhana dan berbobot. Konflik dalam cerita ini adalah kritik yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Si tokoh utama melihat fakta sosial yang terjadi di kampungnya, minimnya fasilitas umum, lambannya perkembangan ekonomi masyarakat, dan musim kampanye pemilu pemerintah yang selalu mendengungkan harapan-harapan kosong. Bahkan, sepuluh tahun telah berlalu, pulau Belitong tetap sama, tak ada pembangunan yang berarti.
Melalui cerpen ini, Andrea Hirata ingin mengemukakan rasa kekecewaannya terhadap Pemerintah yang hanya mencari jabatan tanpa mempedulikan pembangunan yang ada di daerah.
ISI
1. Analisis Cerita
a. Pemerintah
Cepren “Kemarau” merupakan sebuah cerpen yang sarat akan kritik pemerintah. Seperti biasa, gaya tulisan si penulis Andrea Hirata selalu berbau politik dan kebudayaan. Melalui sepenggal cerpen yang berasal dari adaptasi salah satu bab novel Padang Bulan ini, Andrea seakan ingin menunjukkan kekecewaannya terhadap pemerintah. Hal ini terlihat dari penggalan cerita “Kemarau” di bawah ini.
“Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. ... yang menyimpan misteri politik republik ini. ... karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat.”
Jika ditarik ke dalam tahun penulisan, cerita ini ditulis pada Juni 2010. Fakta sosial yang ada, dari data yang saya dapat, Kepulauan Bangka Belitung mengadakan pemilihan kepala daerah pada tanggal 18 Juni 2010. Tidak salah lagi, cerpen ini dibuat atas dasar kekecewaan dan kebosanan masyarakat setempat yang diwakili Andrea Hirata terhadap aksi pemerintah daerah yang selalu menghumbar janji palsu ketika akan mengadakan pemilihan kepala daerah.
Pendapat ini jelas logis, karena fakta yang ada ternyata Andrea Hirata lebih banyak tinggal ditempat kelahirannya di Pulau Belitong . Oleh sebab itu, bobot Andrea untuk mengkritik sistem pemerintahan daerah Belitong jelas ada. Selanjutnya, kritik Andrea terhadap pemerintah tidak sampai di situ saja. Di akhir cerita ia kembali menulis:
“Sepuluh tahun telah lewat ...... Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat ... ”
b. Ekonomi
Cerpen “Kemarau” ini juga berisi mengenai wajah perekonomian yang ada di Pulau Belitong saat itu. Di dalam cerpen ini, andrea mengangkat masalah para Pendulang Timah dan menuliskannya secara apik seperti kutipan tulisannya di bawah ini:
“Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. ... Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. ... Sepuluh tahun telah lewat “Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?” “Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku.”
Selain komoditas lada, Pulau Belitong memiliki Sumber Daya Alam timah. Namun, Unit Penambangan Timah Belitung resmi ditutup oleh PT Timah pada 29 April 1991Akibat dari penutupan Unit Penambangan Timah Belitung ini, Pulau Belitong yang 80 persen penduduknya bekerja di PT Timah, mulai meninggalkan pulau untuk mencari pekerjaan yang lebih menjamin. Kebanyakan penduduknya merantau ke Jakarta. Namun, sejak kerusuhan di Jakarta tahun 1998, banyak penduduk dari Belitong kembali ke daerah untuk mendulang timah. Untung saja harga timah saat itu mulai meninggi.
Tampak jelas dalam cerpen ini, perekonomian di Pulau Belitong sangat bergantung pada sumber daya alam timah yang ada. Namun, lagi-lagi usaha pemerintah yang minim untuk mengawasi sistem pendulangan yang ada disana, sehingga rakyat hanya mendapat sedikit keuntungan ketimbang para raksasa yang memotori penambangan timah ini. Di dalam Novel Maryamah Karpov lebih jelas memperlihatkan nasib para pendulang yang susah untuk mendapat kehidupan yang layak. Bertahun-tahun, pemuda-pemuda kampung hanya berprofesi sebagai pendulang timah, tanpa kemajuan, tanpa perubahan yang berarti.
PENUTUP
Cerpen “Kemarau” karangan Andrea Hirata ini memuat banyak sekali kritik terhadap pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Dengan tidak melihat keadaan rakyat, pemerintah daerah masih saja mencari kedudukan di kursi pemerintahan dengan mengkampanyekan janji-janji palsu. Cerpen ini dapat digolongkan ke dalam cerpen ilmiah. Isi dari cerita ini merupakan gambaran nyata yang dituliskan dalam sebuah karya sastra, cerpen. Refleksi penulis (dalam hal ini saya) terhadap cerpen ini adalah ketika kita berada di dalam situasi yang berpengaruh dan dibutuhkan oleh banyak orang, kita jangan hanya menjadi proklamator palsu, namun haruslah menjadi penggerak dan pelaksana perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Hirata, Andrea. Padang Bulan. Yogyakarta: Benteng, 2010
____________. Maryamah Karpov. Yogyakarta: Benteng, 2010
Majalah Tempo. “Pendulang Timah di Belitong.” http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/17/IMZ/mbm.20110117.IMZ135637.id.html (diakses 26 Januari 2012).
Script Intermedia. “Pilkada 2010.” http://www.scriptintermedia.com/view.php?id=4295&jenis=Pilkada (diakses 26 Januari 2012).
Ini nilainya apa bro
BalasHapusInti ceritnya mana?
BalasHapusUnsur instrintik nya mana...
BalasHapusNilai nilai kehidupan nya mana?
BalasHapusSumber ceritanya mana?
BalasHapusSumber ceritanya mana?
BalasHapus